SELAMAT DATANG DI BRAMMIRZA BLOG'S

Jumat, 10 Mei 2013

Ditemukannya 3 planet kembaran bumi

Di tengah-tengah kekacauan & semakin meningkatnya "Rate of Birth" setiap tahunnya, para ilmuwan telah menemukan harapan baru untuk hidup di planet lain.

Para ilmuwan mengumumkan penemuan tiga planet, yang mungkin merupakan kandidat terbaik dunia yang bisa menopang kehidupan di luar tata surya. Meski, jarak mereka amat sangat jauh. Trio planet tersebut ditemukan Satelit Kepler milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), yang terus bersiaga mengawasi sekitar 150.000 bintang, dengan harapan bisa mengidentifikasi planet yang mirip dengan Bumi.

 "Dengan semua penemuan ini, kadar Bumi sebagai tempat istimewa di alam semesta makin berkurang. Sebab, ternyata ada banyak planet mirip dengan Bumi di mana-mana," kata ilmuwan Kepler di Bay Area Environmental Research Institutem Sonoma, California, Tom Barclay, seperti dimuat CNN, (18/4/2013)

Kepler-62f diduga berukuran 40% lebih besar dari Bumi, mungkin berbatu. Planet tersebut mengelilingi bintangnya setiap 267,3 hari.
Sementara Kepler-62e diperkirakan 60% lebih besar dari Bumi. Sedikit lebih dekat dengan bintangnya. Diperkirakan merupakan "dunia air" karena sebagian besar wilayahnya diduga merupakan perairan dalam. Planet tersebut berevolusi sekali dalam 122,4 hari.
Planet ketiga, Kepler-69c terlihat mengorbit bintang serupa Matahari. Ukurannya sekitar 70 % lebih besar dari Bumi. Planet tersebut juga diperkirakan "dunia air", dengan lautan yang dalamnya mencapai beberapa kilometer.




Dikutip dari : Berbagai sumber

Kamis, 02 Mei 2013

Lubang Hitam (Black Hole)

Lubang hitam adalah sebuah pemusatan massa yang cukup besar sehingga menghasilkan gaya gravitasi yang sangat besar. Gaya gravitasi yang sangat besar ini mencegah apa pun lolos darinya kecuali melalui perilaku terowongan kuantum. Medan gravitasi begitu kuat sehingga kecepatan lepas di dekatnya mendekati kecepatan cahaya. Tak ada sesuatu, termasuk radiasi elektromagnetik yang dapat lolos dari gravitasinya, bahkan cahaya hanya dapat masuk tetapi tidak dapat keluar atau melewatinya, dari sini diperoleh kata “hitam”.

Teori adanya lubang hitam pertama kali diajukan pada abad ke-18 oleh John Michell and Pierre-Simon Laplace, selanjutnya dikembangkan oleh astronom Jerman bernama Karl Schwarzschild, pada tahun 1916, dengan berdasar pada teori relativitas umum dari Albert Einstein, dan semakin dipopulerkan oleh Stephen William Hawking. Pada saat ini banyak astronom yang percaya bahwa hampir semua galaksi dialam semesta ini mengelilingi lubang hitam pada pusat galaksi.

Adalah John Archibald Wheeler pada tahun 1967 yang memberikan nama “Lubang Hitam” sehingga menjadi populer di dunia bahkan juga menjadi topik favorit para penulis fiksi ilmiah. Kita tidak dapat melihat lubang hitam akan tetapi kita bisa mendeteksi materi yang tertarik / tersedot ke arahnya. Dengan cara inilah, para astronom mempelajari dan mengidentifikasikan banyak lubang hitam di angkasa lewat observasi yang sangat hati-hati sehingga diperkirakan di angkasa dihiasi oleh jutaan lubang hitam.

Penemuan NGC 3393 memiliki kemiripan dengan “kemungkinan” pasangan lubang hitam supermasif yangUniversity of Texas di Austin dengan menggunakan data Chandra.  Sumber sinar-X yang berasal dari lubang hitam supermasif dalam sebuah galaksi yang berada 2 milyar tahun dari Bumi dan kedua lubang hitam tersebut terpisah sejauh 6500 tahun cahaya.
ditemukan oleh tim Julia Comerford dari

Seperti halnya di NGC 3393, galaksi tuan rumah tidak menunjukkan tanda-tanda gangguan atau jumlah ekstrim dari pembentukan bintang. Namun, tidak ada struktur atau tanda khusus yang tampak di galaksi tersebut. Juga  salah satu sumber bisa dijelaskan oleh jet atau letusan tiba-tiba yang sangat kuat sehingga menyiratkan kalau hanya ada satu lubang hitam supermasif di galaksi itu.

Tabrakan dan penggabungan antar galaksi merupakan salah satu jalan bagi galaksi dan lubang hitam untuk tumbuh dan bagi para astronom, menemukan sepasang lubang hitam di galaksi spiral menjadi petunjuk penting bagi perjalanan manusia untuk mengetahui bagaimana semua itu terjadi.


Dikutip dari berbagai sumber

Sabtu, 09 Februari 2013

Dead Space 3 Review (PC)


Dead Space is a series I’ve grown quite fond of in recent months, as I finally got the chance to play through the first two games in their entirety not long ago. What I love about those games is that they understand survival horror; they realize that what makes a video game scary is the sense of dread caused when your character feels underpowered. In an era where gaming is constantly evolving to make players feel more and more powerful, Dead Space brought us back to a time when scavenging every dark corner and constantly counting and recounting your bullets actually meant something. And I will always love that. So, having played through Dead Space 3, can I honestly say that it preserves that special horror sauce I crave? Well, the short answer is not really.

Selasa, 05 Februari 2013

DEVIL MAY CRY 5



Capcom’s trying to sell the game in part based on Limbo’s malleability. The city’s essentially a living entity here, out to kill you. But that sounds cooler than what it actually is: a chance for Ninja Theory to show off some admittedly awe-inspiring, world-warping tech. This is the platforming part of DmC, except it’s just not that interesting as platformers go. You can jump, long jump or grapple through levels that menace and posture, but with the exception of a few “whoops, there goes the floor” Temple Run moments, they never pose an actual threat. The challenge improves when you replay these levels later, working to unearth keys, secret doors and lost souls to pad your leaderboard scores, but the levels are small enough and the puzzles so elementary that you’ll run out of rope, interest-wise, quickly.
Thank goodness Ninja Theory got the fighting right (after you ramp up the difficulty, anyway). DmC hews to classic beat-em-up tropes — you fight incrementally challenging enemies and mix-em-up mobs area by area — and still doles out a grade rating for combos where you’re trying to chain nonconsecutive moves. But your new hybrid abilities, which include an axe, gauntlets, scythe and pair of Krull-style glaives, double as tactical keys: Defeating angelic or demonic enemies requires you tap the corresponding weapon, for instance, while countering demonic or angelic moves and navigating color-coded platforms is a matter of timing trigger-pulls carefully.
Things finally get interesting when DmC starts throwing a little of everything at you simultaneously. Style grades were the original games’ way of punishing button-mashing, and that’s still the case here, but adding enemies and environmental challenges keyed to specific powers ups the ante without overcomplicating things. Upgrading abilities you can re-spec at special waypoints unlocks alternative tap patterns to power up a move or pull off special variations, but you don’t need most of these to win (think of them as style-related flourishes, plus they’re incredibly cool to watch). And after you’ve played through DmC once or twice to unlock stronger enemies and remixed enemy waves — call it a mainstreaming levy on core-players and series loyalists — the challenge compounds in a way that starts to feel like the Devil May Cry you used to know, only better.

Sabtu, 02 Februari 2013

Dead Island Review (PC)


GAMES – Dead Island Review (PC)

On a small island off the coast of Papua New Guinea, the dead walk. The story didn't set my hair on fire, but everything else makes up for it. When you sit down to play, you'll choose one of four characters and for the next 20 to 30-some hours roam massive maps, take on interesting side quests, and chop the heads off hundreds of ghouls.
But Dead Island doesn't succeed because of its gore (though I liked the dismemberment). Dead Island's strength is in the world it creates. I crept into and through each environment I came to, from beaches to sewers to jail cells. I listened for the screams of the infected or the roar of a damage sponge known as a "Thug." From that perspective, I was on the island; not my character. In the beginning, I'd slaughter every zombie I saw, but by the time I got to the city and found tight alleyways overrun with monsters, I began to just run from objective to objective. No longer was I playing a game -- I was focusing on survival as if I were the one running from Point A to Point B.
Objectively speaking -- like, right now from my keyboard and not playing the actual game -- that's a stupid thing to say. Dead Island doesn't really punish you for dying. If you croak, you wait five seconds and respawn with less money. Any damage you inflicted before heading to the great beyond remains. But I say that using hindsight. When I sprinted away from a zombie and heard its growls directly behind me, my heart pounded in my chest. I didn't think "Oh, I'll just let him get me and restart back there."
You rarely feel safe in Dead Island, and that's how a zombie game should be. You have a limited stamina bar, so you can't run or swing your weapon forever. Med kits were few and far between in my experience, so scavenging for energy drinks and fruit -- which have to be used at that moment and can't be stored -- became part of the experience. Weapons degrade as you use them, so finding a "legendary" weapon was exciting, but not as exciting as finding a workbench to keep weapons in tip-top shape.
Dead Island made me my character. I chose the weapons, the enemies to attack, and the side quests to take. When I leveled up, I chose in which skill tree to invest my new point in -- so even if you joined my game as the same knives expert I play as, we wouldn't necessarily have the same abilities.
Special zombies make you switch up strategies.
Thankfully, joining games is easy. When you're playing, a pop-up message will notify you if a player is close to you and joinable. If I see you sign on, I can invite you in. Of course, experience levels play into this. Players can only join the games of people who are equal or lesser levels. I can't be level 31 and about to win the game and have a level 1 player join me. It might sound depressing, but there are tons of character slots, so having a character for different sessions shouldn't be too tough. Plus, you can always switch your game to single-player if you just want to be left alone. Sadly, there is no local co-op.
Is Dead Island perfect? No. Far from it. As much as I lauded it, Dead Island is rough around the edges and that's sure to turn a lot of people off. First-person melee combat doesn't feel natural right away. Sometimes textures take their time loading in, I'd describe every cutscene as "stiff," and the visual flaws like hands going through doors and weird mini-game meters made me laugh. Still, presentation doesn't make a game, experiences do. And they are packed into Dead Island. 

The Verdict
Dead Island probably won't win any game of the year awards. It's got visual bugs, the controls take a bit to feel normal, and the presentation in general isn't up to snuff. But the game gets a lot right. There is a huge world to explore, thousands of zombies to kill, and tons of side quests to take. Here on the other side of a 25-hour playthrough -- where I skipped a lot of side quests after Act 1 -- I'm anxious to get back into Dead Island, and despite the game's flaws, that's not something I say often.

Taken From : www.ign.com/articles/2011/09/04/dead-island-review

Minggu, 20 Januari 2013

DUNIA DIGITAL



Digital World

Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi informasi dan komunikasi menjadi salah satu faktor determinan dalam arus globalisasi, yang didalamnya juga menyangkut tentang bagaimana negara memanfaatkannya termasuk dalam agenda pembangunan. Namun yang menjadi masalah kini adalah kemampuan negara dalam hal tersebut didapati tidak merata dan akhirnya teknologi informasi menciptakan sebuah gap atau pengkelompokan tertentu. Digital divide atau kesenjangan digital dapat dipahami sebagai pembagian kelompok atas kemampuan terhadap penguasaan ekonomi informasi digital. Pembagian ini sangat berkaitan  dengan klasifikasi antara negara makmur dan negara miskin, sehingga pada satu titik ditemukan bahwa digital divide sangat erat kaitannya dengan development divide.
Isu tentang kesenjangan telah menjadi isu yang sangat banyak menuai berbagai macam perdebatan, yang pada dasarnya perihal bagaimana melihat kesenjangan itu. Penulis melihat bahwa kesenjangan digital memang sedang terjadi dan bukan mitos semata. Dengan mengembalikkan divide ini pada konteks perekonomian, harus diingat bahwa Information and Communication  Technology (ICT) berkaitan erat knowledge yang mana adalah aspek sangat penting dalam faktor produksi (Parayil, 2005). Hal ini jelas berimbas pada kapasitas ekonomi dan pendapatan negara, sehingga tidak mengherankan jika Parayil akhirnya menjadikan GDP menjadi salah satu bentuk nyata dari digital divide itu sendiri dan menilai bahwa kesenjangan digital tidak lain merupakan fenomena kesenjangan kapasitas dan kapabilitas dalam penguasaan teknologi informasi yang sangat berkaitan dengan ketimpangan sosial-ekonomi.
SixthSense adalah sebuah perangkat antarmuka (interface) gestural yang dapat digunakan untuk menghubungkan dunia fisik di sekitar manusia dengan informasi digital. SixthSense memungkinkan manusia untuk berinteraksi dengan informasi digital dalam dunia fisik hanya dengan menggunakan gerakan tangan. Gerak tangan dan jari-jari tersebut akan dipahami secara otomatis untuk kemudian mampu memanipulasi informasi digital ke dalam dunia fisik.
SixthSense terdiri dari komponen-komponen seperti proyektor dengan ukuran kecil, cermin, kamera, dan ponsel yang terintegrasi satu sama lain dan mampu berfungsi layaknya sebuah komputer dengan koneksi ke internet. Pengguna dapat melakukan aktivitas sehari-harinya seperti menelepon, menggambar, mengambil foto, membaca buku, dan lain-lain, tanpa harus membawa banyak perangkat.
Prinsip teknologi SixthSense ditemukan dan dikembangkan oleh Pranav Mistry, seorang insinyur muda asal India yang lulus dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) dengan predikat PhD. Pemberian nama SixthSense didasarkan pada pemikiran bahwa perangkat ini dikendalikan oleh gerak tubuh manusia, sehingga dapat dianalogikan sebagai pelengkap lima indera yang sudah dimiliki oleh manusia. Pada tahun 2009, SixthSense mendapatkan anugerah Invention Award yang diprakarsai oleh majalah Popular Science.

Disarikan dari WIKIPEDIA 2013

Entri Populer

Pengikut